Florinda Zeka telah bertekad. “Jika mereka meminta saya menanggalkan
jilbab, saya tak akan melakukannya,” ujarnya. Gadis berusia 17 tahun ini
sejak Maret lalu terpaksa harus meninggalkan sekolah karena berjilbab.
Ia tertimpa dampak kebijakan Pemerintah Kosovo yang melarang penggunaan
jilbab di sekolah-sekolah umum.Dengan kebijakan itu, Zeka yang
tinggal di pinggiran kota wilayah Kosovo Tengah ini dipaksa untuk
memilih. Dan ia telah menjatuhkan pilihannya, meninggalkan sekolah.
“Sebab, bagi saya jilbab lebih penting dibandingkan sekolah. Jilbab hal
paling berharga di dalam kehidupan saya,” katanya seperti dikutip BBC,
Selasa (24/8).
Kini, otoritas lokal sedang mempertimbangkan
keputusan apakah akan mengizinkan Zeka kembali ke kelas atau tidak,
setelah liburan musim panas ini. Ia mengungkapkan kesedihannya atas
munculnya larangan jilbab. Ia pun merasakan diskriminasi. Sebab, ia
ingin memiliki hak seperti orang lain, bersekolah.
Ia benar-benar
rindu kembali ke sekolah, tentu dengan penutup auratnya. Kosovo, yang
secara unilateral mendeklarasikan kemerdekaannya dari Serbia pada 2008
silam, menetapkan larangan jilbab di sekolah umum pada akhir tahun lalu.
Langkah ini dianggap pemerintah sesuai dengan konstitusi yang
menyatakan Kosovo negara sekuler.
Namun, sejumlah kalangan
meyakini motif sebenarnya adalah keinginan pemerintah agar Kosovo
seperti negara Barat. Yang menegaskan bahwa mereka benar-benar menganut
nilai-nilai Eropa. Dengan harapan, Kosovo secara mudah bisa bergabung
dalam Uni Eropa. Langkah yang hampir sama dilakukan Turki.
Di sisi
lain, mereka menunjuk kan satu fakta lainnya. Untuk mencapai tujuannya,
pemerintah mendorong pembangunan katedral Katolik besar yang kini masih
berlangsung. Lokasinya di ibu kota negara, Pristina. Sedangkan Muslim,
yang jumlahnya lebih dari 90 persen dari populasi, terpaksa harus shalat
hingga trotoar.
Hal ini terjadi karena sempitnya masjid-masjid
yang ada di kota tersebut. Deputi Menteri Luar Negeri Vlora Citaku,
menyampaikan dalih pemerintah soal pelarangan busana Muslimah. “Jilbab
di Kosovo bukan elemen dalam identitas kami. Jilbab merupakan pertanda
penyerahan diri perempuan kepada laki-laki,” katanya.
Menurut dia,
tak mungkin seorang gadis berusia 16 tahun atau 17 tahun mampu membuat
keputusan secara sadar untuk memakai jilbab. Ia mengatakan, pelarangan
tak akan diberlakukan di universitas. Pemerintah, kata dia,
mempertimbangkan soal kedewasaan terkait jilbab.
Secara umum,
jelas dia, ada persepsi bahwa setelah berumur 18 tahun ke atas seseorang
mampu membuat keputusan secara mandiri. Dengan demikian, perempuan itu
melakukan sesuatu bukan karena dorongan atau paksaan di luar dirinya. Ia
menegaskan, banyak orang yang mendukung larangan jilbab di
sekolah-sekolah umum.
Menurut dia, daripada memberikan fokus pada
kelompok marginal lebih baik perhatian diberikan kepada mereka yang
mayoritas. Banyak orang tua menyampaikan rasa khawatir tentang anaknya
yang mengenakan jilbab. Pada Juni lalu, keputusan pemerintah ini memicu
unjuk rasa 5.000 orang di Pristina.
Para pemimpin Muslim
menegaskan, mereka akan mengadukan pemerintahnya ke Pengadilan HAM Eropa
jika keputusan pelarangan jilbab itu tak dihapuskan. Besa Ismaili,
salah seorang yang menentang pelarangan penggunaan jilbab di sekolah
umum, menyatakan kebijakan itu mempengaruhi dukungan publik terhadap
Pemerintah Kosovo. (irf/Ferry Kisihandi/RoL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar