“Yang penting hatinya berjilbab dulu…baru memakai jilbab beneran”.
“Saya belum berani berjilbab … belum pantas”.
“Sebenarnya sudah pingin sekali berjilbab, Mbak … tapi aku masih seperti ini. Pantaskah?”
Kita
mungkin pernah mendengar ungkapan–ungkapan demikian atau yang sejenis.
Kemarin, sahabat saya sendiri pun mengatakan hal serupa. Pertanyaan
baliknya, “Jika merasa belum pantas mengenakan jilbab, apakah tidak berjilbab akan lebih pantas?”
Merasa diri masih banyak kekurangan, sah–sah saja. Memang lebih baik demikian daripada merasa diri sudah numero uno, sudah good enough
sehingga tidak perlu memperbaiki segala yang masih perlu direnovasi.
Kewajiban kita adalah introspeksi diri agar kita tidak termasuk
orang–orang yang merugi karena hari ini tidak lebih baik dari kemarin.
Tapi untuk urusan berjilbab, ceritanya lain.
Menutup aurat adalah
perintah Allah SWT terhadap kaum Hawa. Allah memerintahkan agar kaum
wanita menjulurkan jilbabnya menutupi seluruh tubuh. Seperti yang
termaktub dalam kedua ayat berikut ini:
“Katakanlah kepada
wanita-wanita beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan
memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.’” (Qs. An-Nuur: 31)
Dan firman-Nya,
“Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzaab: 59)
Perintah untuk
berjilbab diturunkan oleh Allah SWT untuk melindungi kaum wanita dari
gangguan-gangguan yang dapat merusak kemuliaan dan kehormatannya dalam
segala aspek kehidupan mengingat wanita identik dengan makhluk lemah
yang berliput keindahan. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Abul
Qasim Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya,
“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.”
(Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1173), Ibnu Khuzaimah (III/95)
dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 10115), dari Shahabat
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)
Ketika krenteg
dalam hati untuk memakai jilbab sudah muncul, alangkah baiknya jika
segera diwujudkan. Menunggu menjilbabi hati, akan sampai kapan? Adakah standard
khusus hingga seperti apa hati kita lantas kita sudah disebut layak
untuk berjilbab? Sampai hati kita benar–benar seputih salju? Mungkinkah?
Malaikat namanya jika tidak berbuat dosa sama sekali. Sedangkan kita,
hanya manusia biasa yang melakukan amar ma’ruf, tapi juga melakukan kesalahan dan dosa.
Menjilbabi
hati beranalogi dengan khusyu’ dalam shalat. Kita harus khusyu’ ketika
mengerjakan shalat. Melupakan segala hal yang bersifat duniawi dan hanya
mengingat Allah SWT semata. Tentu saja, sangat sulit dilakukan. Tapi
apakah lantas kita berhenti shalat karena merasa belum bisa khusyu?
Sebaliknya, kita terus mengerjakan shalat dan sedikit demi sedikit terus
belajar agar lebih khusyu’. Jika kita berhenti mengerjakan shalat, maka
kita tidak akan tahu seperti apa rasanya khusyu’. Demikian juga hati,
semestinya tidak menjadi penghalang ketika kita ingin mengenakan jilbab.
Alangkah baiknya jika mulai hari ini kita kenakan jilbab, lalu
seterusnya sedikit demi sedikit kita belajar memperbaiki hati kita.
Menjilbabi
aurat, sebenarnya adalah menjilbabi hati juga. Mempercantik aurat sama
halnya dengan mempercantik hati kita. Saya katakan demikian sebab
memakai jilbab adalah perintah paten dari Illahi Rabbi. Tidak bisa
ditawar-tawab lagi kecuali bagi wanita–wanita yang tidak terkena
kewajiban memakainya. Membayangkan gerahnya berjilbab di saat udara
panas, meninggalkan baju–baju bagus yang dimiliki untuk diganti dengan
busana muslimah, menutupi rambut dengan selembar jalabib padahal
biasanya dipuji–puji orang karena indah berkilau, menutupi leher jenjang
yang biasanya menjadi daya tarik tersendiri. Duhh…beratnya. Ketika kita
bismillaah memantabkan niat untuk berjilbab, meninggalkan
semua yang memperberat langkah untuk berjilbab, artinya kita menangkan
satu peperangan besar melawan diri sendiri. Maka bertambah cantiklah
hati kita karena sekali lagi kita kalahkan hawa nafsu dan menggantinya
dengan bi tho’atillaah.
Jadi, manakah yang didahulukan?
Menjilbabi hati atau menjilbabi aurat dulu? Jawabnya mari kita lakukan
keduanya bersama–sama sebab ketika kita menjilbabi aurat sebenarnya kita
telah satu langkah menjilbabi hati kita.
Berjilbab bukan hanya
sebuah identitas fisik sebagai seorang muslimah. Menutup aurat adalah
perintah wajib yang merupakan bukti ketaatan terhadap perintah Allah SWT
dan Rasul-Nya sebagaimana kewajiban shalat, puasa, haji bagi yang mampu, dan ibadah-ibadah lainnya. Ketika kita ingin menjadi muslimah yang kaaffah, maka sudah seharusnya kita terketuk untuk melaksanakan perintah-Nya, bukan?
Wallahu a’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar